eramuslim - Dalam usia belia pakar ekonomi Syari'ah Dr. Muhammad Syafii Antonio (38 tahun) menjadi mualaf meski ditentang keras oleh keluarganya yang menganut agama Kong Hu Chu.
Sejak pertama kali menjalan ibadah puasa di bulan Ramadhan ia selalu menetapkan target-target antara lain bisa mengkhatamkan al-Qur'an sebanyak tiga sampai empat kali dan dalam membaca beberapa buku selama satu bulan penuh selama Ramadhan.
"Perasaan ketika menyambut Ramadhan, seolah-olah seperti menyambut kedatangan tamu agung yang dinanti-nantikan, karena Islamnya baru, jadi semangatnya masih tinggi," katanya pada eramuslim saat ditemui di sela-sela kesibukannya dalam kegiatan Ramadhan di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.
Ia mengaku, setelah satu bulan memeluk agama Islam, sekitar tahun 1984-1985, di usianya yang baru memasuki 18 tahun ia sudah langsung bisa membaca Al-Qur'an dengan lancar dan selalu menyempatkan membacanya setiap hari, bukan hanya pada bulan Ramadhan. Khusus pada bulan Ramadhan, Ia berusaha membacanya maksimal setengah juz sehabis sholat sehingga target tersebut dapat terlampaui.
"Namanya juga target, kadang terpenuhi kadang tidak, pernah suatu ketika, karena sudah mendekati Idul Fitri, masih tersisa 10 juz, sementara di rumah saya mati lampu, karena ingat harus selesai, akhirnya saya melanjutkan bacaan dengan bantuan penerangan lampu minyak tanah, saya membaca al-Qur'an semalaman, ketika sadar pagi harinya, hidung saya hitam semua terkena asap lampu minyak, tapi akhirnya beres juga," kenangnya sambil tertawa.
Ustadz Syafii mengatakan, ketika ia masuk Islam, semua teman-temannya sebayanya langsung tahu. Maklumlah, saat itu ia termasuk pemuda yang sangat aktif mengikuti berbagai pertandingan badminton antar Sekolah Menengah Atas (SMA) di Sukabumi.
"Karena mereka tahu dulunya saya anak Chinesse, ketika saya ke Masjid banyak yang pada melihat terutama anak wanita, lalu mereka berkata, 'Wah si cokin sudah Islam ya'," kisahnya.
Syafii mengaku sangat berat waktu pertama kali menjalankan ibadah puasa, karena ia harus menjalaninya seorang diri, di tengah lingkungan keluarga yang mayoritas non muslim. Ia juga mendapat tentangan keras dari kedua orang tuanya, namun Ia mencoba bersabar dalam menjalani ke-Islamannya. Saat itu ia berkeyakinan, karena perbedaan pandapat pada awal menjadi mualaf merupakan sunatullah.
"Dalam kehidupan terdapat perbedaan pendapat dan persepsi, kadang harus kita jalani dengan berat hati, tetapi saya coba untuk bersabar menjalaninya, karena cobaan yang saya alami belum seberapa dibandingkan cerita para sahabat yang sering saya baca," ungkap suami dari Mirna Rafki ini.
Ia mencoba memetik hikmah dari kemandiriannya. Ketika memutuskan untuk menjadi seorang Muslim, Syafii Antonio tidak lagi diakui anak oleh kedua orang tuanya. Oleh sebab itu, ia pun meninggalkan rumah dan berhasil mendapakan beasiswa untuk melanjutkan sekolahnya.
"Saya pergi ke Pesantren An-Nizhom di Salabintana, Sukabumi, kemudian di sana saya mendapat bantuan tempat tinggal, meneruskan sekolah, mengaji dan setelah itu saya belajar ceramah, ilmu bahasa, tafsir dan hadist," ujar pria kelahiran 12 Mei 1967.
Setelah itu, Syafii sering ikut ustadznya berceramah di sana-sini. Karena rajinnya menyimak dan mencatat, hingga suatu saat ustadznya berhalangan, ia mencoba memberanikan diri berceramah menggantikan sang ustadz hingga sekarang Syafii dikenal sebagai da'i selain dikenal sebagai seorang pakar ekonomi Syari'ah.
Ia mengatakan, kebiasanya membaca sejak usia balita membuat dirinya dipaksa dewasa lebih cepat. Selama dua tahun sebelum memeluk Islam, ia melakukan kajian terhadap Islam dengan membaca buku tentang perbandingan agama.
"Buku perbandingan agama itulah yang menggiring saya untuk mencari jawaban atas pertanyaan yang muncul. Saya membacanya berulang-ulang hingga sampai pada suatu kesimpulan, bahwa Islam itu agama yang komprehensif, mendorong persamaan ras dan komprehensif mengatur kehidupan rumah tangga, bisnis, ekonomi, politik, hukum, bahkan mulai dari bangun tidur sampai masuk kamar mandi dan memimpin parlemen ada aturannya," papar ustadz penggemar masakan Sunda ini.
Lantas bagaimana dengan bulan Ramadhan kali ini? Apalagi yang masih menjadi obsesinya?
Menjawab pertanyaan itu, Syafii hanya mengatakan bahwa ia akan berusaha mengaplikasikan takwa dalam bentuk yang terukur. Yakni dapat membedakan halal dan haram yang menirutnya persoalan ini sering dilupakan oleh kita sebagai manusia.
"Salah satu penyakit terbesar bangsa ini adalah tidak memperdulikan mana yang halal dan yang haram. Tapi dengan berpuasa kita didorong untuk menghindari yang haram, belajar disiplin stop makan dan minum, memiliki jiwa amanah, karena merasa diawasi oleh Allah dan juga berusaha membangkitkan respons sosial melalui ibadah zakat dan shodaqoh, serta yang terpenting adalah bagaimana saya dapat mewujudkan la’allakum tattaquun," tandas Ustadz Syafii menutup perbincangan dengan eramuslim. (novel/ln)
No comments:
Post a Comment