Wednesday, January 04, 2006

Steven Johnson Syndrome

Hanif Musyaffa Tewas Mengenaskan

HANIF Musyaffa (10 bulan), anak semata wayang pasangan Arief Surachman (30)dan Mia Melani (23) telah pergi untuk selamanya. Hanif pergi di usianya yang masih sangat muda. Hanya sepuluh bulan, ibunya, Mia, diberi kesempatan untuk merawat Hanif dan hanya sepuluh bulan pula dia menyaksikan kelincahan, kelucuan, dan keluguan anak lelakinya itu.

Minggu (18/12), Hanif meninggal dengan keadaan yang sangat mengkhawatirkan. Seluruh kulit di tubuhnya melepuh seperti terbakar. Mulut, lidah, dan kelopak matanya pun ikut melepuh, ditambah dengan cairan yang keluar begitu luka-luka itu terbuka dan mengelupas. Untuk minum dan makan hanya bisa ditetesi dengan menggunakan kapas."Tubuh Hanif melepuh dan saya hanya bisa menyaksikan tanpa bisa berbuat apa-apa untuk mengurangi rasa sakit yang dideritanya," ujar Mia sambil berkaca-kaca. "Saya tidak tega melihatnya," tambahnya. Tidak terbayang betapa parah rasa sakit diderita Hanif. Untuk menangis saja dia tidak sanggup.

Mengedipkan mata pun yang keluar hanyalah darah," kata Mia, sambil sesekali berhenti berkata dan menghela napas panjang Mia yang beralamat di Jln. Raya Ujungberung No. 228, menceritakan dari awal kenapa anaknya bisa mengalami hal itu. Awalnya Hanif hanya terserang panas biasa disertai mencret. "Malam Jumat (9/12-red) Hanif mulai sakit,lalu dikasih obat panas yang diresepkan oleh dokter pribadi kami," ujarnya.Setelah diberi obat, suhu tubuh Hanif naik turun. Karena tidak kunjung membaik, orang tua Hanif lalu membawanya ke rumah sakit atas rujukan dokter pribadi.Dokter jaga di salah satu RS Bandung, memberi Hanif obat panas racikan dan obat mencret sirup. "Di rumah, Hanif diberi obat tetapi malah kejang-kejang," kata Mia. Karena khawatir, keluarga membawa kembali Hanif ke dokter semula,yaitu dokter pribadinya. Dokter pribadi, lanjut Mia, mengganti lagi obat racikan dari RS dengan empat macam obat baru. Obat panas, antibiotik, obat mencret,dan obat kejang."Malam harinya, Hanif menangis terus dan gelisah. Tiap sepuluh menit sekali mencret," ujarnya.

Keesokan harinya, sekira pukul 4.30 WIB, mulai muncul bintik-bintik seperti campak dan mulutnya melepuh seperti sariawan. Mia langsung menelefon dokter pribadinya untuk memeriksakan Hanif. Dokter mengatakan, Hanif harus dibawa ke laboratorium untuk pemeriksaan darah, karena dikhawatirkan terserang demam berdarah atau tifus. Hasil pemeriksaan laboratorium menyebutkan, Hanif terkena penyakit campak. "Oleh dokter diberi obat campak dan obat sariawan," kata Mia.Dokter juga menyarankan Hanif untuk tidak dirawat dan dianjurkan untuk tetap meminum empat macam obat yang sebelumnya diberikan. Namun, Sabtu (11/12) siang, keadaan Hanif semakin mengkhawatirkan. Selain tidak bisa makan dan minum, seluruh badannya mulai melepuh seperti luka bakar. Pihak
keluarga kemudian membawa Hanif ke salah satu RS di Bandung. Hanif langsung diinfus dan hidungnya diselang untuk saluran makan, sementara dokter jaga RS memeriksa seluruh tubuh Hanif. Dokter pribadi Hanif kemudian memberi resep melalui dokter jaga tanpa pemeriksaan terlebih dahulu oleh dokter pribadi. "Obat tersebut disuntikkan ke Hanif, tapi dokter sendiri tidak datang untuk memeriksa langsung keadaan Hanif hanya melalui dokter jaga," ujar Mia. Setelah disuntik keadaan Hanif semakin memburuk, pihak keluarga kemudian memindahkan Hanif ke RS yang lebih besar dengan fasilitas yang lebih komplet. Begitu pindah RS, Mia menyebutkan, Hanif langsung diinfus dan diberi oksigen, karena napasnya semakin sesak. Suster yang menangani Hanif mengatakan, Hanif mengalami keracunan obat. Setelah melalui pemeriksaan tiga dokter spesialis (spesialis anak, kulit, dan mata), Hanif diduga terkena Steven Johson Syndrome, yaitu alergi atau keracunan terhadap jenis obat tertentu. Dokter juga menyebutkan kalau paru-paru Hanif sudah mengalami keruskan berat akibat keracunan ini.

Mia mengatakan, ketika itu suara Hanif sudah hilang dan kelopak matanya juga ikut melepuh. Dokter yang menangani Hanif menyebutkan kalau tidak segera ditangani Hanif bisa mengalami kebutaan. Sekira enam hari Hanif dirawat di ruang anak, namun keadaannya tidak membaik. Akhirnya, Sabtu (17/12) malam Hanif masuk ICU dan hanya bertahan sekira 12 jam, sampai akhirnya Minggu (18/12) pukul 10.45 WIB Hanif meninggal dunia. Ternyata infeksi yang diderita Hanif sudah menjalar ke otak dan organ tubuh lainnya. Kalaupun diberi kesempatan hidup, akan mengalami kecacatan.

Iman Sulaiman (25), paman Hanif mengatakan, pihak keluarga tidak akan menuntut pihak rumah sakit ataupun dokter yang menangani Hanif. Namun, sebagai wakil dari pihak keluarga sangat menyayangkan sikap dokter pribadinya yang terkesan cuci tangan terhadap kejadian tersebut. Iman hanya mengimbau kepada masyarakat dan tim medis agar jangan sampai terjadi lagi kasus-kasus serupa. "Cukup Hanif yang menjadi korban," ujarnya. Lebih lanjut, Iman menjelaskan, kenapa pihaknya tidak berniat menuntut siapa pun dalam kasus ini. Selama ini, menurut Iman, kasus malapraktik yang diajukan ke meja hijau tidak pernah tuntas. "Bahkan setelah melalui puluhan sidang pun tetap menemui jalan buntu," ujarnya. Kejadian ini, lanjut Iman, merupakan bahan pembelajaran bagi semua orang agar lebih jeli dan teliti dalam memilih pengobatan yang terbaik terutama bagi anak-anak.

"Steven Johnson Syndrome"
Sementara, menurut dr . Budi Setiabudiwan, dokter spesialis anak di RS Hasan Sadikin Bandung, Stevens Johnson Syndrome merupakan suatu penyakit sistemik yang menyerang kulit. Kelainan kulit ini sebagian besar akibat alergi terhadap satu jenis obat tertentu. "Jika alergi terhadap obat, manifesnya pada kulit," ujar dokter ahli alergi imunologi ini. Di tiap negara, tambah Budi, penyebabnya berbeda-beda. Bisa dari antibiotik atau juga antiepilepsi. Namun, biasanya juga akibat bawaan ari anak. Terdapat empat jenis alergi yang biasanya
terjadi, Eritema Multifome, Stevens Johnson Syndrome, Overlapping Toxic Epidermo Necolisis dan Steven
Johnson, dan yang terakhir adalah Toxic Epidermo Necolisis. Steven Johnson adalah alergi tingkat sedang yang selain menyerang kulit juga menyerang mata, anus, dan alat kelamin.

Budi menjelaskan anak yang terkena sindrom ini kulitnya akan melepuh. Untuk penanganannya harus dilakukan secepat dan sesegera mungkin. Sebab, lanjut Budi, jika kulit terkelupas , cairan tubuh akan banyak keluar dan
rentan terjadi infeksi akibat kuman yang masuk. Untuk itu, pasien harus segera masuk ke ruangan ICU untuk mendapatkan perawatan yang intensif. Sebetulnya kesalahan pemberian obat, menurut dokter Budi, bukan sepenuhnya kesalahan dari seorang dokter. Harus ada komunikasi yang baik antara dokter dengan pasien. "Orang tua harus ditanya terlebih dahulu, apakah anaknya alergi terhadap satu jenis obat atau tidak?" ujar Budi. Selain itu, dokter juga harus terus memonitor keadaan pasien terlebih jika diketahui pasien tersebut menunjukkan gejala alergi terhadap obat tertentu. (CW-7)***Pikiran Rakyat, Rabu, 21 Desember 2005