Tuesday, October 25, 2005

7 kalimat tabu untuk diucapkan ayah & ibu

Bicara pada anak, kelihatannya memang sepele. Tapi percayalah, jika tak jeli memilih kata-kata dan kalimat, bisa berdampak buruk bagi si kecil.

Tak mau, kan, buah hati jadi tak punya percaya diri, merasa dirinya jadi pecundang, atau terus-menerus diliputi rasa bersalah?

Sering, kan, kita dengar seorang ibu menegur balitanya dengan ucapan, "Kalau kamu enggak nurut, nanti Ibu tinggal!" Maksudnya, sih, supaya si anak menurut. Tapi yang sebetulnya terjadi, "ancaman" seperti itu hanya membuat perasaan anak terluka. Orang tua sering lupa, kalimat yang dilontarkan pada anak, amat berpengaruh pada rasa percaya diri, kesehatan emosional, dan kepribadiannya. Dengan kata lain, ada hubungan kuat antara kalimat yang dipakai dengan sikap dan tingkah anak kelak.

Sederet kata memang bisa berdampak positif, juga negatif. Asal tahu saja, bahasa bisa jadi salah satu sumber kekerasan terhadap anak. Pendek kata, perhatikan dan pilih betul kata-kata yang akan disampaikaan pada buah hati.

Kalau emosi sedang memuncak, coba, deh, tinggalkan si kecil sejenak, tarik napas dalam-dalam, jalan-jalan, atau minum air putih. Emosi pun akan turun dan kita jadi bisa berpikir lebih tenang. Setelah itu, baru ajak anak berkomunikasi.

Berikut sejumlah kalimat tabu untuk dilontarkan pada si buah hati.

1. "Gara-gara kamu, Ayah dan Ibu jadi pisah."

Tak seorang anak pun bisa dijadikan alasan perceraian orang tuanya. Seorang anak tak selayaknya menanggung beban yang sedemikian berat. Meski hal itu benar adanya dan disampaikan dengan halus, tetap saja anak akan merasa sangat bersalah. "Seandainya saya tak nakal, pasti Ayah dan Ibu enggak pisah," begitu yang seringkali timbul di benaknya.

2. "Kalau enggak berhenti menangis, Ibu tinggal kamu di sini!"

Ketakutan terbesar dari seorang anak adalah berpisah atau ditinggalkan sendirian. Apalagi oleh orang tuanya. Mengancam anak dengan kalimat seperti itu dengan tujuan anak mau menuruti perintah dan berhenti melakukan suatu tindakan, jelas tidak bijak. Lebih bijaksana jika memberinya pilihan. Misalnya, "Sayang, jika kamu tetap saja berteriak-teriak seperti itu, lebih baik kita pulang saja, ya. Ibu baru mau meneruskan belanja kalau kamu berhenti berteriak-teriak. Terserah, kamu mau pilih yang mana?" Alternatif lain adalah dengan mengalihkan perhatian anak atau menghentikan kegiatan untuk sementara. Siapa tahu, Anda atau si kecil memang sudah capek dan perlu istirahat.

3."Mestinya kamu malu pada diri sendiri."

Rasa bersalah akan segera menyergap anak jika kita mengucapkan kalimat seperti itu. Sementara orang tua justru yakin, kalau anak merasa bersalah, ia pasti bakal mengubah kelakuan dan jadi menurut. Memang, rasa bersalah atau rasa malu bisa membuat seseorang, termasuk anak, mengubah perilakunya sesuai yang diharapkan. Namun, jangan salah. Pada saat yang sama, ia juga akan merasa dirinya sebagai pecundang. "Saya memang anak nakal, tak bisa bikin orang tua senang," "Saya selalu salah," dan sebagainya. Ujung-ujungnya, rasa percaya diri anak menurun drastis.

4. "Kami tak pernah mengharapkan kamu."

"Nyesel rasanya Ibu melahirkan kamu! Kalau tahu kamu bakal senakal ini, lebih baik kamu tak lahir saja." Kalimat seperti ini sungguh tak bisa diampuni. Tak peduli apa kesalahan anak atau selembut apa pun disampaikan, tetap saja tak dibenarkan untuk dilontarkan. Sebab, hanya menunjukkan ada yang tak beres dalam hubungan orang tua dan anak. Jika ini yang terjadi, segera cari tahu, apa yang salah dalam hubungan dengan si kecil. kalau perlu, segera minta bantuan ahli.

5. "Kenapa, sih, enggak bisa seperti adikmu?"

Saat orang tua membandingkan anak dengan saudaranya, berarti salah satu di antaranya dianggap kurang. Kalimat ini membawa pesan pada anak, ia tak lebih pandai, tak lebih baik, dan tak lebih cakap dibanding saudaranya. Kalimat, "Kamu memang tak seperti kakakmu," akan membuatnya merasa dikucilkan dan bisa berdampak hingga ia dewasa.

Membanding-bandingkan antara saudara juga akan menciptakan persaingan tak sehat di antara mereka. Alhasil, mereka jadi "hobi" bertikai dan akhirnya merusak hubungan antar-anak. Terimalah setiap anak dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Ingat, tiap anak adalah individu unik.

6. "Pokoknya lakukan seperti kata Ibu!"

Kalimat ini membawa pesan, "Kamu, kan, anak kecil,tahu apa, sih? Ibu, kan, lebih tahu dan lebih pintar. Tugas saya adalah memberi tahu dan tugas kamu adalah mematuhi apa yang saya katakan!"

Kalimat ini akan menciptakan kebencian pada diri anak. Lain halnya jika disampaikan dalam bentuk yang bisa mengundang empati anak, semisal, "Ibu benar-benar capek, Sayang."

7. "Sini, biar Ibu yang bikinin."

"Sini, biar Mama yang kerjakan," "Kali ini, Ibu mau bantu kamu." Jika kalimat-kalimat itu selalu dilontarkaan setiap kali anak mendapat kesulitan, sama artinya dengan menciptakan rasa tak berdaya atau tak mampu dalam diri si kecil. Cara ini juga membuka peluang bagi anak untuk melakukan hal yang sama di masa depan.

Kalau cuma dilakukan sekali, sih, tak masalah. Tapi dua kali, berarti pola sudah tercipta. Tiga kali dan seterusnya? Berarti Anda sudah menciptakan pekerjaan baru bagi diri sendiri.

ORANG TUA BAIK, ANAK JUGA JADI BAIK

Memberi anak motivasi agar berperilaku baik, sebetulnya tak sulit, kok. Orang tua pun tak perlu menggunakan sikap otoriter yang justru bikin anak tertekan.

* Ubah sikap
Orang tua adalah model bagi anak. Jadi, coba cari tahu, apa yang membuat anak melakukan hal-hal yang tak Anda "setujui." Bisa saja, mereka meniru dari Anda. Coba catat, apa perilaku baik yang dilakukan anak minggu ini dan catat pula apa yang Anda lakukan di minggu yang sama. Jika Anda berlaku "baik," bisa dipastikan anak pun akan bertingkah baik pula.

* Buat aturan main
Apakah Anda sudah membuat aturan yang jelas di dalam keluarga? Termasuk untuk anak-anak Anda? Misalnya, setiap bangun tidur harus membereskan sendiri tempat tidur. Aturan akan membantu anak melakukan hal-hal positif tanpa kita perlu bersikap keras. Yang tak kalah penting, bersikaplah konsisten. Sekali Anda berkompromi dan melanggar aturan, anak pun akan punya cara untuk keluar dari aturan. Caranya? ya, dengan cari-cari alasan agar tak perlu ikut aturan.

* Cintai buah hati
Anak, di usia berapa pun, selalu ingin membuat orang tuanya senang. Mereka adalah makhluk yang dipenuhi kasih. Tak ada anak yang berniat mencelakakan ibunya, kan? Perhatian dan cinta orang tua yang tulus dan tanpa pamrih pada mereka adalah motivator terkuat bagi anak.

* Tetapkan tujuan
Apa, sih, sebetulnya tujuan Anda mendidik dan membesarkan anak? Coba tulis, apakah Anda ingin membesarkan anak menjadi orang yang penuh cinta kasih atau yang disiplin, dengan cara apa pun? Nah, cermati betul, apa kira-kira hasil yang akan diperoleh dari tujuan tadi. (Tabloid Nova)

No comments: